Cinta Penawar Duka

Miyamaedaira. Kosa kata itu mungkin merupakan salah satu kosa kata paling indah dalam hidupku. Miyamaedaira merupakan distrik tempat aku dan Pak Ridha tinggal selama Pak Ridha menuntut ilmu di Jepang. Berada di apartemen kayu sederhana dan tua, kami menjalani hari-hari kami dengan penuh keceriaan.

Masih terbayang saat pertama kali tiba, Pak Ridha membuatkanku secangkir kopi susu hangat. Di tengah terpaan udara dingin dan nuansa pengantin baru, kopi susu itu menjadi kopi susu terenak yang pernah kureguk. Dan nikmatnya masih kuingat hingga kini.

Masih terbayang juga saat Pak Ridha menggotong pemanas listrik ke dapur kami yang dingin dan beku. Saat itu aku tengah membuat sarapan pagi. Juga saat beliau menyelimutiku dan memastikan agar aku tetap hangat dalam balutan selimut futon.

Ketika pertama kali berangkat ke Jepang, aku adalah sosok anak kota manja yang tak bisa apa-apa. Pak Ridhalah, dengan penuh kesabaran, menempaku dan berusaha menjadikanku sosok yang mandiri. Beliau mengajariku memotong daging dan memasak, menunjukkan cara naik kereta api listrik, menunjukkan cara berbelanja, membayar bill listrik, telepon dan air. Beliau mewanti-wantiku untuk selalu tepat waktu, tepat janji dan jujur, di mana pun berada. Beliau juga mengajariku kerapian dan keteraturan, sesuatu yang tidak kumiliki sebelumnya. Namun hebatnya beliau, dengan segala kelembutannya, bisa menasehatiku tanpa membuatku tersinggung. Pemilihan kata yang baik, santun dan tidak menyakitkan, membuatku bisa menerima segala kesalahan dan juga kritikan. Beliau memiliki akhlak yang sangat mulia, rela menolong siapa pun yang sedang kesusahan, tidak membeda-bedakan kawan baik kaya dan miskin.

Kebaikan hati beliau selalu kuingat dalam sanubari. Dan hal itu menjadi  pelipur lara saat terjadi perselisihan di antara kami. Secangkir kopi susu hangat di musim dingin, membuat hatiku luluh dan menghangat. Kebaikan beliau masih terlalu banyak bila dibandingkan kekurangan beliau. Sebaliknya kekuranganku masih terlalu banyak, dan itu semua lenyap dalam balutan sifat beliau yang pemaaf, sabar, penyayang dan berusaha memahamiku.

Ketika tsunami Aceh 2004 terjadi, hati beliau terguncang. Prihatin melihat banyaknya korban yang disebabkan ketidak tahuan tentang tsunami. Seandainya saja mereka memiliki pengetahuan tentang tsunami, mungkin jumlah korban tidak akan sebanyak itu. Keprihatinan ini membuat beliau memprakarsai berdirinya sebuah lembaga terkait tsunami. Bersama beberapa orang teman, beliau mendirikan Tsunami Disaster Mitigation Research Centre –lembaga penelitian di bawah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah)-  sebagai bentuk kepedulian beliau terhadap Aceh. Tak hanya itu, beliau juga menggalang dana dari donatur Jepang, untuk disalurkan kepada anak-anak yatim korban tsunami. Untuk mengawasi penggunaan dana, beliau mendirikan yayasan, yang dikelola oleh dosen-dosen Unsyiah dan beberapa orang volunteer. Awalnya hanya dikhususkan pada korban tsunami, namun seiring berjalannya waktu, meluas ke siswa kurang mampu namun berprestasi.

Semangat beliau yang tinggi untuk menuntut ilmu, ditunjang oleh kecerdasannya membuatnya ingin menuntut ilmu yang setinggi-tingginya. Memperoleh beasiswa Monbusho (Dekdikbudnya Jepang) alhamdulillah membuat impiannya terlaksana. Merasa sangat terbantu dengan mendapatkan beasiswa, membuat beliau ingin berbagi hal yang sama. Memberikan beasiswa untuk anak-anak yatim dan anak berprestasi namun kurang mampu, agar mereka bisa tetap melanjutkan sekolah, walaupun dengan keterbatasan dana. Beliau ingin membuka jalan bagi anak-anak Aceh agar bisa maju dan berkembang. Suatu keinginan yang sangat mulia dan alhamdulillah dimudahkan realisasinya oleh Allah Ta’ala. Tak hanya beasiswa, untuk menunjang pembelajaran diperlukan juga buku-buku pelengkap. Beliau memfasilitasi mobile library dan berdirinya perpustakaan di daerah Peukan Bada, tepatnya di Desa Lamlumpu, persis di depan Masjid Lamlumpu. Beliau berharap anak-anak yang kurang mampu bisa menikmati buku-buku yang mahal seperti ensiklopedi. Suatu niat mulia yang tidak pernah terpikir olehku.

Beliau juga sangat hormat dan sayang kepada kedua orangtuanya, terutama Ummi. Jika pergi ke luar kota, beliau selalu menyempatkan diri untuk pamitan kepada kedua orangtuanya. Jika Abu atau Ummi sakit, sesibuk apapun beliau, akan beliau tinggalkan demi menjenguk orangtuanya.

Ketika beliau sakit parah dan emosi beliau tidak stabil, dalam keadaan terluka aku berusaha menerima gerutuan dan cercaan beliau. Sembari meneteskan air mata, aku meyakinkan diri bahwa sosok di depanku itu bukanlah sosok Pak Ridha yang sebenarnya. Sosok beliau telah tertutupi oleh penyakit kronis yang telah bertahun dideritanya. Kucoba mengingat semua kebaikannya, semua kemaafannya terhadap diriku yang hina dina ini. Kuingat kembali kopi susu yang dibuatnya, pemanas yang susah payah digotongnya dan selimut futon yang dihangatkannya untukku. Biasanya, semua amarah dan kekesalan yang menggunung, sirna ditelan oleh kebaikan dan akhlaknya yang mulia. Cinta Penawar Duka.

Aku bersyukur Allah Ta’ala telah menganugerahkan Pak Ridha  kepadaku. Dengan cintanya yang sempurna, dengan ketulusan hatinya, dengan kepeduliannya pada sesama, dengan keinginannya berbagi, dan dengan 1001 kebaikan yang tidak dapat kujabarkan satu persatu. Aku berharap kelak, Allah Ta’ala akan menempatkannya di surga yang tertinggi. Aammiin Allahumma aamiin.

Tinggalkan komentar